Laman

Kamis, 15 Desember 2011

TAFSIR SURAH AL-HADID AYAT 20


BAB I
PENDAHULUAN
Tuhan mewahyukan Al-Qur’an kepada Muhammad Saw. bukan sekadar sebagai inisiasi kerasulan, apalagi suvenir atau nomenklatur. Secara praksis, Al-Qur’an bagi Muhammad Saw. merupakan inspirasi etik pembebasan yang menyinari kesadaran dan gerakan sosial dalam membangun masyarakat yang sejahtera, adil dan manusiawi. Sebab, tujuan dasar Islam adalah persaudaraan universal, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Kontemplasi yang dilakukan Muhammad Saw. di gua Hira, yang kemudian mengantarkan dirinya memeroleh pengalaman agung—menerima wahyu dari Tuhan untuk kali pertama—hakikatnya merupakan refleksi dan transendensi atas kenyataan-kenyataan sosial masyarakat Arab yang timpang saat itu: sistem ekonomi yang memihak kepada golongan kaya, dominasi laki-laki, dan otoritas sosial serta politik memusat di tangan klan-klan yang dominan.
Kini, lima belas abad telah berlalu. Al-Qur’an telah terkodifikasi ke dalam satu mushhaf dan satu teks standar. Lalu, bagaimana kita mesti memahaminya dalam konteks problem sosial yang kompleks yang kita hadapi sekarang?
Pertanyaan ini jelas berkaitan dengan problem metodologi penafsiran. Perlu disadari, bahwa sebagai wahyu yang telah mengalami tekstualisasi, Al-Qur’an telah menjadi teks tertutup. Namun, pembacaan terhadapnya, sebagai proses penggalian makna-makna konseptual yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, tentu sebaiknya tidaklah pernah tertutup dan atau hanya dimonopoli oleh suatu komunitas tertentu secara hegemonik. Sebab, sebagai teks, Al-Qur’an secara inhern tidaklah akan pernah bisa ‘berbicara’ sendiri, ia mesti disuarakan dengan ‘pembacaan-pembacaan’ secara produktif. “Al-Qur’ân bayna daftayi al-mushhaf lâ yanthiqu, wa innamâ yatakallamu bihi al-rijâl,” kata Imam Ali. Pembacaan yang produktif ini tentu mengandaikan adanya metodologi tafsir.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tafsir Surah Al-Hadid Ayat 20.
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZƒÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ֍èO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1uŽtIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3tƒ $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓƒÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ
Artinya:
“ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.
Allah berfirman: ketahuilah, wahai hamba-hamba Allah yang lengah atau tertipu oleh gemerlapan hiasan duniawi, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia dalam gemerlapannya yang menggiurkan, tidak lain hanyalah permainan yakni aktivitas yang sia-sia dan tanpa tujuan. Apa yang dihasilkan tidak lain hanyalah hal-hal yang menyenangkan hati tetapi menghabiskan waktu dan mengantarkan kepada kelengahan, yakni melakukan kegiatan yang menyenangkan hati, tetapi tidak atau kurang penting atau yang lebih penting, serta ia juga merupakan perhiasan dan bermegah-megah antara kamu yang mengantar kepada dengki dan iri hati serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan juga berbangga tentang sukses anak-anak keturunan, padahal itu semua hanya bersifat sementara dan tidak kekal. Kehidupan dunia ibarat hujan yang tercurah ke atas tanah yang mengagumkan para petani tanam-tanaman yang ditumbuhkankan-nya kemudian setelah berlalu sekian waktu ia yakni tanaman itu menjadi kering atau tumbuh tinggi dan menguat lalu dengan segera engkau lihat dia menguning, lalu beberapa saat kemudian ia menjadi hancur. Demikian itulah perumpamaan keadaan dunia dari segi kecepatan kepunahannya dan di akhirat nanti ada azab yang keras bagi mereka yang menuntunnya dengan mengabaikan akhirat dan ada juga ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya bagi mereka yang menjadikan dunia arena perolehan kebahagiaan akhirat dan tidaklah kehidupan dunia bagi mereka yang terlengahkan oleh gemerlapannya kecuali hanyalah kesenangan sementara dan segera lenyap lagi yang menipu manusia-manusia yang lengah.
Kata (( الكفّار  al-kuffar adalah jamak dari kata ( كافر )  kafir. Kata ini terambil dari kata ( كفر ) kafara yang berarti menutup. Maksudnya di sini adal para petani, karena mereka menanam benih yankni menutupnya dengan tanah.
Kafir dalam istilah keagamaan adalah yang menutupi/mengingkari kebenaran yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya. Kekikiran pun dinamai oleh Al-Qur’an kekufuran, karena yang kikir - dengan keengganannya memberi - bagaikan menutupi apa yang terdapat padanya, apalagi yang bersangkutan tidak jarang menutupi apa yang dimilikinya sambil bebohong denagn berkata “Saya tidak punya”. Alhasil kata kafir dalam konteks ajaran agama adalah segala aktivitas yang bertentangan dengan tujuan agama. Penggunaan kata kafir pada ayat ini - walaupun yang dimaksud adalah petani, namun memberi kesan bahwa demikian itulah sikap orang-orang yang jauh dari tuntutan agama, yakni sangat senang dan tergiur oleh hiasan dan gemerlap duniawi.
Kata ( يهيج ) yahiju difahami oleh banyak ulama dalam arti menjadi kering. Ada juga yang memahami dalam arti bangkit, menguat dan meninggi. Dengan demikian, periode ini sebelum tumbuhan itu layu dan kering. Kelayuan dan kekeringannya dilukiskan oleh kata sesudahnya yakni lalu engkau lihat dia menguning yakni layu dan akhirnya kering.
Didahulukannya maghfirah atas ridhwan - menurut Thabâthabâ’i ­- agar wadah keridhaan itu bersih terlabih dahulu, agar dapat menampung ridha-Nya. Memang bagaimana mungkin ridha diperoleh kalau masih ada ketidakharmonisan dalam jiwa. Nah, ketidak-harmonisan itu menjadi lenyap apabila kesalahan-kesalahan dihapus terlebih dahulu. Di sisi lain ayat di atas menyifati maghfirah tersebut bersumber dari Allah, tetapi ‘adzab/siksa tidak disifati-Nya dengan sesuatu apapun.  Ini sejalan dengan kebiasaan al-Qur’an menisbahkan yang baik dan positif kepada Allah, sedang yang buruk tidak dinisbahkan kepada-Nya.
Thabâthabâ’i memahaminya sebagai isyarat bahwa yang terutama didambakan adalah maghfirah, sedang (keterhindaran dari) siksa tidaklah demikian, karena siksa merupakan akibat dari keengganan manusia mengenakan pakaian ‘ubudiyah/penghambaan diri kepada Allah.
Selanjutnya menurut ulama ini, penyebutan maghfirah dan siksa pada penggalan akhir ayat di atas adalah gambaran dari dua wajah akhirat. Itu dikemukakan agar setiap orang berhati-hati dalam pilihannya, yakni hendaklah dia memilih maghfirah dan ridha bukan siksa, sedang firman-Nya dan tidaklah kehidupan dunia kecuali hanyalah kesenangan sementara yang menipu adalah peringatan untuk tidak terpedaya oleh gemerlap duniawi. Kesenangan yang diperoleh itu, bukan substansi dari hal-hal tersebut, tetapi kesenangan itu lahir dari faktor luar yang sifatnya negatif yakni tipu daya dan pengelabuan yang melengahkan.
Sementara ulama memahami ayat ini sebagai penilaian al-Qur’an tentang kehidupan duniawi. Penulis cendrung memahaminya menguraikan makna kehidupan dunia bagi mereka yang lengah - sesuai dengan konteks ayat.
Tentu saja kehidupan dunia tidak demikian bagi yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Buat mereka, kehidupan dunia adalah perjuangan untuk meraih kesejahteraan lahir dan bathin, dunia dan akhirat, karena hidup bukan hanya disini dan sekarang tetapi ia bersinambungan sampai ke akhirat. Selanjutnya karena apa yang diperoleh di akhirat, diukur dengan apa yang dilakukan dalam kehidupan dunia ini, maka kehidupan dunia sangat berarti bahkan berharga.
Dunia adalah tempat di mana perlindungan menyangkut masa depan tidak dapat dicari dan diperoleh kecuali di kala hidup bermukim di pentasnya. Apapun aktivitas yang dilakukan - jika dilakukan semata-mata buat dunia - maka itu tidak menjamin keselamatan.
Jangan mencercanya apalagi mengabaikannya, karena dunia adalah arena kebenaran bagi yang menyadari hakikatnya, ia adalah tempat dan jalan kebahagiaan bagi yang memehaminya. Dunia adalah arena kekayaan bagi yang menggunakannya mengumpul bekal perjalanan menuju keabadian serta aneka pelajaran bagi yang merenung dan memperhatikan fenomena serta peristiwa-peristiwanya. Ia adalah tempat mengabdi para pecinta Allah, tempat berdoa para malaikat, tempat turunnya wahyu bagi para nabi atau tempat curahan rahmat bagi yang taat.
Bagi yang terlalu mencintainya atau sedih karena luput dari salah satu kenikmatannya - bagi mereka sebaiknya merenungkan ayat diatas dan nasihat Sayyidina Ali ra. Yang antara lain berkata:
 Jangan bersedih karena luput darimu kenikmatan dunia, karena kenikmatannya hanya enam macam. Makanan, minuman, pakaian, aroma, kendaraan dan hubungan seks. Makanan yang terbaik adalah madu, dia adalah ludah serangga (lebah), minuman yang terbanyak adalah air, ini adalah minuman semua binatang. Pakaian yang terbaik adalah sutra, itu adalah hasil rajutan ulat. Aroma yang paling nyaman adalah wewangian, dan ini adalah darah tikus. Kendaraan yang terbaik adalah kuda, dan di sanalah terbunuh banyak tokoh. Sedang hubungan seks adalah pertemuan alat kencing di tempat kencing.
  Ayat diatas menggunakan redaksi ( إنَّما ) innama/tidak lain atau hanya yang mengandung makna pembatasan, sehingga bila merujuk ke redaksi ayat maka selain yang disebut oleh redaksinya, bukan merupakan bagian dari kehidupan dunia. Menyadari bahwa banyak hal dalam kehidupan dunia ini selain yang disebut oleh ayat diatas, seperti penyakit, makan dan minum, dan lain-lain, maka tentu saja kata tidak lain dimaksudkan hanya bertujuan menekankan sekaligus menggambarkan bahwa hal-hal itulah yang terpenting dalam pandangan orang-orang yang lengah, walau selain dari itu masih banyak. Dalam QS. Al-An’am [6]: 32[1] yang tidak menggunakan kata innamâ justru yang disebut hanya dua, yaitu   ( لعب )la’ib/permainan dan ( لهو )  lahwu/kelengahan.”
Kata   ( لعب )la’ib yang biasa di terjemahkan permainan digunakan oleh al-Qur’an dalam arti suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya bukan untuk tujuan yang wajar dalam arti membawa manfaat atau mencegah mudharat. Ia dilakukan tanpa tujuan, bahkan kalau ada hanya untuk menghabiskan waktu, sedang lahwu adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan kelengahan pelakunya dari pekerjaan yang bermanfaat atau lebih bermanfaat dan penting dari pada yang sedang dilakukannya itu.
Susunan kegiatan-kegiatan yang disebut ayat diatas - menurut Rasyid Ridha - salah seorang pakar Tafsir asal Lebanon (wafat Agustus 1935 M) - sebagaimana disinggung juga oleh Thabâthabâ’i yang menyatakan bersumber dari gurunya - merupakan gambaran dari awal perkembangan manusia hingga mencapai kedewasaan dan kematangan serta ketuaannya. ( اللعب ) Al-la’ib/permainan merupakan gambaran keadaan bayi yang merasakan lezatnya permainan walau ia sendiri melakukannya tanpa tujuan apa-apa kecuali bermain. Disusul dengan  ( اللهو )al-lahwu karena ini tidak dapat dilakukan kecuali bagi mereka yang telah memiliki - walau sedikit pikiran, bukan semacam bayi. Setelah itu disebutkan ( الزّينة ) az-zinah yakni perhiasan, karena berhias adalah adat kebiasaan remaja, lalu disusul dengan ( تفاخر ) tafakhur/berbangga-bangga,karena inilah sifat pemuda dan diakhiri dengan ( تكاثر في الأموال ) takâtsur fi al-amwal memperbanyak harta dan anak karena itulah sifat orang tua/dewasa.
BAB III
KESIMPULAN
Pada surah Al-Hadid Ayat 20 Allah ta’ala berfirman tentang hakikat kehidupan dunia khususnya bagi mereka yang pandangannya terbatas. Pada ayat ini Allah ta’ala memberitahukan kepada kita hamba-hambanya bahwa janganlah lengah atau tertipu oleh gemerlapan hiasan duniawi yang menggiurkan, karena itu tidaklah lain hanyalah permainan yang sia-sia dan tidak punya tujuan apapun. Apa yang dihasilkan tidak lain hanyalah hal-hal yang menyenangkan hati saja akan tetapi juga menghabiskan waktu dan mengantarkan kepada kelengahan, yakni melakukan kegiatan yang menyenangkan hati, tetapi tidak atau kurang penting atau yang lebih penting.
 Allah juga menyuruh kepada hambanya supaya tidak berlebihan dalam   perhiasan, bermegah-megah,  juga berbangga tentang tentang banyaknya harta dan sukses anak-anak keturunan diantara manusia, karena itu menimbulkan sifat dengki dan iri hati dan juga mengakibatkan persaingan tidak sehat diantara kamu.
Yang mana sebenarnya Kehidupan dunia itu ibarat hujan yang tercurah ke atas tanah untuk menumbuhkan tanam-tanaman namun setelah berlalu sekian lama, tanaman itu akan menjadi kering dan beberapa saat kemudian kamu akan melihat kehancuran-Nya.


$tBur äo4quysø9$# !$uŠ÷R$!$# žwÎ) Ò=Ïès9 ×qôgs9ur ( â#¤$#s9ur äotÅzFy$# ׎öyz tûïÏ%©#Ïj9 tbqà)­Gtƒ 3 Ÿxsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÌËÈ [1] 
Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?
Maksudnya: kesenangan-kesenangan duniawi itu hanya sebentar dan tidak kekal. janganlah orang terperdaya dengan kesenangan-kesenangan dunia, serta lalai dari memperhatikan urusan akhirat.

Tidak ada komentar: