Seseorang
yang ingin mengkaji ajaran Islam secara baik, benar dan mendalam tidak dapat
menghindarkan diri dari keharusan mempelajari Al-Qur’an dan hadist Nabi,
mengingat Al-Qur’an dan hadist Nabi merupakan sumber ajaran Islam yang utama
dan pertama dalam Islam.
Hadist
Nabi Saw. pada hakikatnya merupakan pengabdian tentang berbagai pandangan dan
sikap Nabi, baik dalam bentuk ucapan dan perbuatan maupun taqrirnya. Karena
para sahabat yang meriwayatkan cukup banyak jumlahnya, maka wajarlah kalau jumlah
hadist berlipat ganda dari ayat Al-Qur’an, apalagi bila ditambah dengan
hadist-hadist palsu.
Hadist
Nabi yang telah dibukukan dalam berbagai kitab sebenarnya merupakan hadiah bagi
generasi berikutnya. Berarti umat Islam semakin kaya akan literatur. Namun,
ketidakmampuan dalam mengungkapkannya kembali secara akedemis bukan suatu hal
yang mustahil. Sekiranya tidak dibantu dengan mu’jam, misalnya,
seseorang akan kesulitan menunjukkan ayat-ayat Al-Qur’an yang sebenarnya sudah
dihafal, pada surat apa dan ayat yang keberapa, apalagi soal hadist. Akibatnya
tidak jarang di kalangan pemakai hadist yang tidak mencantumkan siapa perawinya
dan dari referensi hadist mana yang diambil.
Apabila
kenyataan diatas terus berkembang, maka kesalahan dan kekeliruan tentang hadist
bukan tidak mungkin terjadi, disamping keobjektifannya akan berkurang.
Penukilan dari buku-buku yang tidak layak sebagai referensinya tidak dijamin
kesahihannya. Kalangan akedimisi tentu menyadari bahwa pengambilan hadist seperti
itu tidak ilmiah. Karena itu, timbul permasalahan darimana harus memperoleh
rujukan tentang hadist dan bagaimana caranya ? dengan mempelajari metode
takhrij hadist, kiranya akan membantu dalam memcahkannya.
A. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian Takhrijul-Hadist itu?
2. Apa
saja yang menjadi penyebab perlunya kegiatan Takhrijul-Hadist?
3. Apa
saja kitab-kitab yang diperlukan dalam melakukan Takhrij-Hadist?
4. Bagaimana
cara melaksanakan Takhrijul-Hadist?
B. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui
dan memahami pengertian hadist baik secara bahasa maupun istilah.
2.
Untuk mengetahui
dan membuktikan sebab-sebab perlunya kegiatan Takhrijul-Hadist.
3.
Untuk mengetahui
dan memahami macam-macam metode Takhrijul-Hadist.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Takhrij
Hadist
Takhrij menurut bahasa ialah mengeluarkan
sesuatu dari tempatnya.[1] Adapun menurut Dr. Mahmud at-Thahhan mendifinisikan bahwa
takhrij menurut pengertian bahasa takhrij menurut pengertian bahasa berarti berkumpulnya
dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu.[2]
Kata takhrij sering diidentikkan dengan beberapa macam pengertian, yaitu istimbat
(cara untuk memperoleh satu dari liputan), tadrib (pengajaran), taujih
(penjelasan), ibraz dan izhar (pengungkapan dan penjelasan)
dan lain-lain.[3]
Para
muhaddisin mempergunakan kata takhrij untuk maksud yang sama dengan ibraz dan
izhar. Maksudnya adalah mengungkapkan hadist kepada orang lain dengan
menyebutkan para perawi yang menjadi sanadnya dalam satu kitab. Al-Sakhawy
mengartikannya dengan mengungkapkan hadist dari bagian isi satu kitab, atau
ucapan guru dan yang sebangsanya kemudian mengungkapkan kembali sebagaimana
adanya. At-Thahhan menggarisbawahi kata-kata al-Suyuthi bahwa takhrij artinya
rujukan hadist dari sumber aslinya dengan mengungkapkan riwayat penyusunan.[4]
Dari
ketiga pengertian secara lughawi di atas, maka menurut at-Thahhan yang ketiga
merupakan pengertian yang paling popular di kalangan muhaddisin, meskipun
ketiga alternatif tersebut satu sama lain mengandung kesamaan arti.
Adapun
takhrij dalam pengertian istilah berarti menunjukkan atau menegemukakan letak
asal hadist pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang di dalamnya
dikemukakan hadist itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing; kemudian,
untuk kepentingan, dijelaskan kualitas hadist yang bersangkutan. Berangkat dari
pengertian itu, maka yang dimaksud takhrij hadist menurut M Syuhudi Ismail
adalah penelusuran atau pencarian hadist pada berbagai kitab sebagai sumber
asli dari hadist yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara
lengkap matan dan sanad hadist yang bersangkutan.[5]
Berdasarkan
pengertian di atas, maka ada tiga hal yang menjadi objek kajian, yaitu dimana
suatu hadist diperoleh; sumber-sumber hadist manakah yang dianggap representif;
bagaimana nilai kesahihan suatu hadist.
Dari
ketiga objek kajian tersebut, at-Thahhan menjelaskan contoh dari masing-masing
sasaran sebagai berikut:
- Perkataan yang dipakai untuk menyebut sejumlah kitab yang didapati hadist di dalamnya, misalnya hadist dimaksud dikemukakan oleh Bukhari dalam sahihnya, atau al-Thabrani dalam Mu’jamnya atau al-Thabari dalam tafsirnya dan ungkapan-ungkapan lain yang sejenis
- Sumber-sumber yang dipandang representif sebagai rujukan hadist adalah:
a. Kitab-kitab hadist yang dihimpun penyusunannya
setelah menerima langsung dari guru-guru berikut sanad-sanadnya yang bersambung
sampai kepada Nabi, seperti al-Kutub al-Sittah, Muwatta’ Malik, Musnad Ahmad,
Mustadrak al-Hakim, Musonnaf Abdul Raziq dan lai sebagainya.
b. Kitab-kitab hadist penting kitab-kitab tersebut pada
alinea pertama seperti kitab al-Jami’ Baina al-Sohihain karangan
al-Humaidi atau Tuhfah al-Asyfar bi Ma’rifah al-Athraf karangan al-Mizzy atau kitab Tahzib
Sunan Abi Daud, karangan al-Munziri yang merupakan ikhtisar dari Sunan Abi
Daud, walaupun tanpa menybutkan sanadnya.
c. Kitab-kitab yang berhubungan dengan disiplin
ilmu-ilmu lain seperti tafsir, fiqih dan sejarah, yang diperkuat oleh
hadist-hadist. Dengan syarat, penyusun meriwayatkannya dengan mengambilnya dari
kitab-kitab lain sebelumnya, misalnya kitab Tafsir al-Thabari dan sejarahnya dan
kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i.
Sumber-sumber seperti tersebut pada poin 2 a, b, dan c, menurut
at-Thahhan adalah sumber hadist yang primer, karena para penyusunnya dalam
meriwayatkan hadist secara langsung dari gurunya dan sanadnya sampai kepada
Nabi Muhammad saw. Berdasarkan kriteria tersebut, maka kitab-kitab yang hanya
memuat sebagian hadist dan periwatannya tidak berdasarkan talqiah (temuwicara),
tidak layak disebut sumber primer, namun, ia dapat dijadikan sebagai petunjuk
yang dapat membantu mencari suatu sumber aslinya.
- Mengenai kualitas sahih atau tidaknya suatu hadist, secara otomatis akan diketahui, manakala validitas referensi (kebenaran rujukan) dan kualitas para perawinya secara jelas telah diketahui. Karena itu, at-Thahhan menyatakan dalam ta’rifnya dengan kata-kata “inda al-Hajah”. Bilakah diperlukan penjelasan mengenai martabat suatu hadist, tidak diperoleh satu pernyataan yang tegas dari at-Thahhan. Nampaknya, ia cendrung mengembalikan permasalahanya pada teori yang dijadikan standar dalam menentukan penilaian suatu hadist. Bagi orang yang mempunyai kemampuan tentang itu tentu tidak perlu dijelaskan, tetapi bagi kalangan yang masih setengah-setengah atau awam sama sekali tentang ilmu hadist, termasuk pengetahuan tentang Rijal al-Hadist kiranya perlu dibantu. Mengenai pembahasan ini lebih mendalam dapat dilihat pada kajian ‘Ulumul al-Hadist.[6]
B. Tujuan dan
Manfaat Takhrijul Hadist
Takhrij
bertujuan menunjukkan sumber hadist-hadist dan menerangkan ditolak atau
diterimanya hadist-hadist tersebut. Sedangkan manfaatnya sangat banyak,
diantaranya adalah:
- Seseorang dapat mengumpulkan berbagai sanad dari sebuah hadist.[7]
- Seseorang dapat mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matan hadist.[8]
- Memberikan informasi bahwa suatu hadist termasuk hadist sahih, hasan, ataupun dhaif, setelaha diadakan penelitian dari segi matan maupun sanadnya.[9]
- Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadist adalah hadist maqbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadist adalah mardud (tertolak).[10]
- Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadist adalah benar-benar berasal dari Rasulullah SAW. yang harus kita ikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadist tersebut, baik dari segi sanadnya maupun matannya.[11]
C. Faktor Perlunya
Kegiatan Takhrij Hadist
Kegiatan takhrij hadist perlu kerena
berbagai faktor, sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadist; suatu hadist akan sangat sulit
ditentukan status dan kualitasnya, bila tidak diketahui terlebih dahulu asal usulnya.
Tanpa diketahui asal-usulnya, maka sanad dan matan hadist yang bersangkutan
sulit diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya.
Tanpa diketahui susunan sanad dan matannya secara
benar, maka hadist yang bersangkutan akan sulit diteliti secara cermat. Dengan
demikian, untuk mengetahui asal-usul hadist, kegiatan takhrij perlu dilakukan.
2.
Untuk mengetahui seluruh riwayat hadist; hadist mungkin memiliki lebih
dari satu sanad. Mungkin salah satu sanad hadist itu berkualitas dha’if, sedang
yang lainnya berkualitas sahih. Untuk dapat menentukan sanad yang berkualitas dhai’if
dan yang berkualitas sahih, maka terlebih dahulu harus diketahui seluruh
riwayat hadist yang bersangkutan. Dalam hubungannya untuk mengetahui seluruh
riwayat hadist, kegiatan takhrij perlu dilakukan.
3.
Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan muttabi’ pada sanad; ketika
hadist diteliti salah satu sanadnya, mungkin ada periwayat lain yang sanadnya
mendukung pada sanad yang sedang diteliti. Dukungan itu bila terletak pada
bagian periwayat tingkat pertama yakni tingkat riwayat Nabi Muhammad saw,
disebut sebagai syahid, sedang bila terdapat di bagian bukan periwayat tingkat
sahabat disebut sebagai mutabi’. Untuk mengetahui apakah suatu sanad memiliki
syahid atau mutabi’, maka seluruh sanad hadist itu harus dikemukakan. Itu
berarti kegiatan takhrij hadist perlu dilakukan.[12]
D. Kitab-kitab Yang
Diperlukan
Ada beberapa
kitab yang diperlukan untuk melakukan takhrij hadist. Adapun kitab-kitab
tersebut antara lain:
- Hidayatul bari ila tartibil ahadistil Bukhari
هِدَا يَةُ الْبَارِى اِلَى تَرْتِيْبِ
اَحَادِيْثِ الْبُخَارِى
Penyusun kitab ini
adalah Abdur Rahman Ambar Al-Misri at-Tahtawi. Kitab ini disusun khusus untuk
mencari hadist-hadist yang termuat dalam Sahih Al-Bukhari. Lafal-lafal
hadis disusun menurut aturan urutan huruf abjad Arab. Namun hadis-hadis yang
dikemukakan secara berulang dalam Sahih Bukhari tidak dimuat secara
berulang dalam kamus di atas. Dengan demikian perbedaan lafal dalam matan hadis
riwayat Al-Bukhari tidak dapat diketahui lewat kamus tersebut.
- Mu’jam Al-Fazi wala siyyama al-garibu minha atau fihris litartibi ahadisi sahihi Muslim
مُعْجَمُ اْلاَلْفَاظِ وَلاَسِيَّمَا
الْغَرِيْبُ مِنْهَا . اَوْ. فِهْرِسٌ لِتَرْتِيْبِ اَحَادِيْثِ صَحِيْحِ مُسْلِمٍ
.
Kitab tersebut merupakan
salah satu juz, yakni juz ke-V dari kitab Sahih Muslim yang disunting
oleh Muhammad Abdul Baqi. Juz V ini merupakan kamus terhadap juz ke-I - IV yang
berisi:
a.
Daftar urutan
judul kitab serta nomor hadist dan juz yang memuatnya.
b.
Daftar nama para
sahabat Nabi yang meriwayatkan hadist yang termuat dalam Sahih Muslim.
c.
Daftar awal
matan hadist dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta diterangkan
nomor-nomor hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, bila kebetulan hadist
tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhari.
- Mifathus Sahihain
مِفْتَاحُ الـصَّحِيْحَينِ
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif
bin Mustafa Al-Tauqih. Kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadist-hadist
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan diriwayatkan oleh Muslim. Akan tetapi
hadist-hadist yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadist-hadist yang berupa
sabda (qauliyah) saja. Hadist-hadist tersebut disusun menurut abjad dari
awal lafal matan hadist.
- Al-Bugyatul fi tartibi ahadistil al-Hilyah
اَلْبُغْيَةُ فِى تَرْتِيْبِ اَحَادِيْثِ
الْحِلْيَةِ
Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz
bin Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq Al-Qammari. Kitab hadist tersebut
memuat dan menerangkan hadist-hadist yang tercantum dalam kitab yang disusun
Abu Nuaim Al-Asabuni (w. 430 H) yang berjudul; Hilyatul auliyai wabaqatul
asfiyai.
Sejenis dengan kitab tersebut di
atas adalah kitab Miftahut tartibil ahadisi tarikhil khatib
مِفْتاحُ التَّرْتِيْبِ لاَِحَادِيْثِ
تَارِيْخِ الْخَطِيْبِ
Yang disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin
Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq Al-Qammari yang memuat dan menerangkan
hadist-hadist yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu Bakar
bin Ali bin Subit bin Ahmad Al-Bagdadi yang dikenal dengan Al-Khatib
Al-Baghdadi (w. 463 H). Susunan kitabnya diberi judul Tarikhu Baghdad تاريخ بغداد yang terdiri atas 4 jilid.
- Al-Jamius Sagir
اَلْجَامعُ الصَّغِيْرُ
Kitab ini disusun oleh jalaluddin
Abdurrahman As-Suyuthi (w. 91 H). kitab kamus hadist tersebut memuat
hadist-hadist yang terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadist yang disusun
oleh As-suyuti juga, yakni kitab Jam’ul Jawami’ جمع الجوامع.
Hadist yang dimuat dalam kitab Jamius
Sagir disusun berdasarkan urutan abjad dari awal lafal matan hadist.
Sebagian dari hadist-hadist itu ada yang ditulis secara lengkap dan ada pula
yang ditulis sebagian -sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang
cukup.
Kitab hadist tersebut juga menerangkan
nama-nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadist yang bersangkutan dan nama-nama
sahabat Mukharijnya (periwayat hadist yang menghimpun hadist dalam kitabnya). Selain
itu, hamper setiap hadist yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penilaian
yang dilakukan atau disetujui oleh As-suyuti.
- Al-Mujam al-mufaras li alfazil hadist nabawi
اَلْمُعْجَمُ الْمُفَرَّسُ لاَِلْفَاظِ الْحَدِيْثِ
النَّبَوِى
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim
dari kalangan oreantalis. Diantara anggota tim yang paling aktif dalam kegiatan
proses penyusunan ialah Dr. Arnold Jhon Wensinck (w. 1939 m), seorang professor
bahasa-bahasa Semit, termasuk bahasa arab di Universitas Leiden, negeri
Belanda.
Kitab ini dimaksudkan untuk mencari
hadist berdasarkan petunjuk lafal matan hadist. Berbagai lafal yang disajikan
tidak dibatasi hanya lafal-lafal yang berada di tengah dan bagian-bagian lain
dari matan hadist. Dengan demikian, kitab Mujam mampu memberikan
informasi kepada pencari matan dan sanad hadist, asal saja sebagian dari lafal matan
yang dicarinya itu telah diketahuinya.
Kitab Muja mini terdiri dari
tujuh Juz dan dapat dipergunakan untuk mncari hadist-hadist yang terdapat dalam
Sembilan kitab hadist, yakni: Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud,
Sunan Turmuzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Sunan Daromi, Muwatta Malik, dan
Musnad Ahmad.
E. Cara
Melaksanakan Takhrijul Hadist
Secara
garis besar menakhrij hadist (takhrijul hadist) dapat dibagi menjadi dua
cara dengan menggunakan kitab-kitab sebagaimana telah disebutkan diatas.
Adapun dua macam cara
takhrijul hadist yaitu :
- Manakhrij hadist telah diketahui awal matannya, maka hadist tersebut dapat dicari atau ditelusuri dalam kitab-kitab kamus hadist dengan dicarikan huruf awal yang sesuai diurutkan dengan abjad.
Contohnya
hadist Nabi yang berbunyi :
لَيْسَ
الشَّدِيْدُ بِاالصُرْعَةِ
Untuk mengetahui lafal lengkap dari
penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakaukan adalah menelusuri
penggalan matan itu pada urutan matan yang dimaksud. Ternyata halaman yang
ditunjuk memuat penggalan lafal tersebut adalah halaman 2014. Berarti, lafal
yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV. Setelah diperiksa, maka
diketahuilah bahwa bunyi lengkap matan hadist yang dicari adalah:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِاالصُّرْعَةِ اِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ
يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ .
Artinya :
“ (Hadist) riwayat Abu Hurairah
bahwa Rasullulah bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah
dari kekuatan orang itu dalam brkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang
kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah”.
Apabila
hadist tersebut dikutip dalam karya tulis ilmiah, maka sesudah lafal matan dan
nama sahabat periwayat hadist yang bersangkutan ditulis, nama Imam Muslim
disertakan. Biasanya kalimat yang dipakai adalah: رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Nama
sahabat periwayat hadist dalam contoh diatas adalah Abu Hurairah, dapat pula
ditulis sesudah nama Muslim dan tidak ditulis di awal matan. Kalimat yang
dipakai berbunyi : رَوَاهُ مُسْلِمٌ
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ
Dalam kitab Sahih Muslim dicantumkan
di catatan kaki sebagaimana lazimnya.
Kamus yang disusun
- Menakhrij hadist dengan berdasarkan topic permasalahan (takhrijul hadist bil Mundu’i)
Upaya mencari hadist terkadang tidak
didasarkan pada lafal matan (meteri) hadist, tetapi didasarkan pada topic
masalah. Pencarian matan hadist berdasarkan topik masalah sangat menolong
pengkaji hadist yang ingin memahami petunjuk-petunjuk hadist dalam segala
konteksnya.
Pencarian matan hadist berdasarkan topic
masalah tertentu itu dapat ditempuh dengan cara membaca berbagai kitab himpunan
kutipan hadist, namun berbagai kitab biasanya tidak menunjukkan teks hadist
menurut para periwayatanya masing-masing. Padahal untuk memahami topic tertentu
tentang petunjuk hadist, diperlukan pengkajian terhadap teks-teks hadist
menurut periwayatannya masing-masing. Dengan bantuan kamus hadist tertentu,
pengkajian teks dan konteks hadist menurut riwayat dari berbagai periwayat akan
mudah dilakukan. Salah satu kamus hadist itu ialah :
مِفْتَاحُ كُنُوْزِ
السُّنَّةِ
Bahasa
asli dari kitab tersebut adalah bahasa Inggris dengan judul a Hanbook of
Early Muhammadan. Kamus hadist yang berbahsa Inggris tersebut diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab sebagaimana tercantum diatas oleh Muhammad Fuad
Abdul-Baqi. Muhammad Fuad tidak hanya menerjemahkan saja, tetapi juga
mengoreksi beberapa data yang salah.
Naskah
yang berbahasa Inggris diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1927 dan
terjemahannya pada tahun 1934.
Dalam
kamus hadist tersebut dikemukakan berbagai topic, baik yang berkenaan dengan
masalah-masalah yang berkaitan dengan petunjuk Nabi maupun yang berkenaan
dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan nama. Untuk setiap topic biasanya
disertakan beberapa subtopic; dan untuk setiap subtopic dikemukakan data hadistdan
kitab yang menjelaskannya. Berarti, lafal yang dicari berada pada halaman 2014
juz IV. Setelah diperiksa, maka diketahuilah bahwa bunyi lengkap dari matan
hadist yang dicari adalah:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِاالصُّرْعَةِ اِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ
يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ .
Artinya :
“ (Hadist) riwayat Abu Hurairah
bahwa Rasullulah bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah
dari kekuatan orang itu dalam brkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang
kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah”.
Jika
hadist tersebut dikutip dalam karya tulis ilmiah, maka sesudah ditulis lafal
matan dan nama sahabat periwayat hadist yang bersangkutan, disertakan nama Imam
Muslim. Biasanya kalimat yang dipakai adalah: رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Nama
sahabat periwayat hadist dalam contoh diatas adalah Abu Hurairah, dapat pula
ditulis sesudah nama Muslim dan tidak ditulis di awal matan. Dalam hal ini, kalimat yang dipakai berbunyi
: رَوَاهُ مُسْلِمٌ
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ
Dalam kamus Sahih Muslim dicantumkan
di catatan kaki sebagimana lazimnya. Kamus yang disusun oleh Muhammad Fuad
Abdul-Baqi tersebut tidak mengemukakan lafal hadist Nabi yang dalam bentuk
selain sabda. Bahkan hadist yang berupa sabda pun tidak seluruhnya dimuat.
Salah satu contohnya ialah lafal hadist yang berbunyi:
يَسِّرُوْا وَلاَتُعَسِّرُوْا.....(الحديث)
Lafal
hadist tersebut tidak termuat dalam kamus, padahal Sahih Muslim memuatnya
di juz III halaman 1359, nomor urut hadist : 1734. Lafal yang dimuat dalam
kamus adalah hadist yang semakna yang terdapat dalam juz dan halaman yang sama,
dengan nomor urut hadist 1733. Lafal itu berbunyi:
يَسِّرُوْا وَلاَتُعَسِّرُوْا.....(الحديث)
Penggalan hadist nomor 1631
merupakan contoh juga dari matan hadist yang tidak termuat dalam kamus itu.
Kitab-kitab
yang menjadi rujukan kamus tidak hanya kitab-kitab hadist saja, tetapi juga
kitab-kitab sejarah (tarikh) Nabi Muhammad. Jumlah kitab rujukan itu ada empat
belas kitab, yakni:
ٰ١. صحيح البخاري ٢. صحيح مسلم ٣. سنن ابى داود
٤. سنن الترمذى ٥. سنن النسائ ٦. سنن ابن ماجه
٧. سنن الدارمي ٨. موطّأ مالك ٩. مسند احمد بن
حنبل
١٠. مسند ابى داود الطَّيالسي ١١. مسند زيد بن على ١٢. سيرَة بن هشام
١٣. مَغَاذِى الواقدى ١٤. طبقَاتُ ابنِ
سعدٍ
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
§ Takhrij menurut bahasa ialah mengeluarkan sesuatu dari tempatnya. Adapun takhrij dalam pengertian istilah berarti menunjukkan atau
menegemukakan letak asal hadist pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab,
yang di dalamnya dikemukakan hadist itu secara lengkap dengan sanadnya
masing-masing; kemudian, untuk kepentingan, dijelaskan kualitas hadist yang
bersangkutan.
§ Takhrij bertujuan menunjukkan sumber hadist-hadist
dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadist-hadist tersebut.
§ Kegiatan takhrij hadist perlu kerena berbagai factor
diantaranya:
Ø Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadist
Ø Untuk mengetahui seluruh riwayat hadist
Ø Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan
muttabi’ pada sanad
§ Ada beberapa kitab yang diperlukan untuk melakukan
takhrij hadist. Adapun kitab kitab tersebut antara lain:
Ø Hidayatul bari ila
tartibil ahadistil Bukhari
Ø
Mu’jam Al-Fazi wala siyyama al-garibu minha atau fihris litartibi ahadisi
sahihi Muslim
Ø
Mifathus Sahihain
Ø
Al-Bugyatul fi tartibi ahadistil al-Hilyah
Ø
Al-Jamius Sagir
Ø
Al-Mujam al-mufaras li alfazil hadist nabawi
§ Cara
Takhrij Hadist ada dua macam yaitu :
Ø Manakhrij
hadist telah diketahui awal matannya
Ø Menakhrij
hadist dengan berdasarkan topic permasalahan (takhrijul hadist bil Maudu’i)
[1]Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy. Sejarah Dan Pengarang Ilmu Hadist, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang,
2009, hal 148.
[2] H. M. Gazali Dr., M.A. Ulumul
Hadist, COMDES Kalimantan, Banjarmasin, 2002, hal 114.
[3] Ibid, hal 114-115.
[4] Ibid
[5] M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadist Nabi, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal 43.
[6] H. M. Gazali Dr., M.A. Ulumul
Hadist, COMDES Kalimantan, Banjarmasin, 2002, hal 117.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] H. Muhammad
Ahmad, Drs., M. Mudzakir., Drs, Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung,
2004, hal 132.
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadist Nabi, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal 44-45.