Laman

Minggu, 18 Desember 2011

TAKHRIJUL AL-HADIST



Seseorang yang ingin mengkaji ajaran Islam secara baik, benar dan mendalam tidak dapat menghindarkan diri dari keharusan mempelajari Al-Qur’an dan hadist Nabi, mengingat Al-Qur’an dan hadist Nabi merupakan sumber ajaran Islam yang utama dan pertama dalam Islam.
Hadist Nabi Saw. pada hakikatnya merupakan pengabdian tentang berbagai pandangan dan sikap Nabi, baik dalam bentuk ucapan dan perbuatan maupun taqrirnya. Karena para sahabat yang meriwayatkan cukup banyak jumlahnya, maka wajarlah kalau jumlah hadist berlipat ganda dari ayat Al-Qur’an, apalagi bila ditambah dengan hadist-hadist palsu.
Hadist Nabi yang telah dibukukan dalam berbagai kitab sebenarnya merupakan hadiah bagi generasi berikutnya. Berarti umat Islam semakin kaya akan literatur. Namun, ketidakmampuan dalam mengungkapkannya kembali secara akedemis bukan suatu hal yang mustahil. Sekiranya tidak dibantu dengan mu’jam, misalnya, seseorang akan kesulitan menunjukkan ayat-ayat Al-Qur’an yang sebenarnya sudah dihafal, pada surat apa dan ayat yang keberapa, apalagi soal hadist. Akibatnya tidak jarang di kalangan pemakai hadist yang tidak mencantumkan siapa perawinya dan dari referensi hadist mana yang diambil.
Apabila kenyataan diatas terus berkembang, maka kesalahan dan kekeliruan tentang hadist bukan tidak mungkin terjadi, disamping keobjektifannya akan berkurang. Penukilan dari buku-buku yang tidak layak sebagai referensinya tidak dijamin kesahihannya. Kalangan akedimisi tentu menyadari bahwa pengambilan hadist seperti itu tidak ilmiah. Karena itu, timbul permasalahan darimana harus memperoleh rujukan tentang hadist dan bagaimana caranya ? dengan mempelajari metode takhrij hadist, kiranya akan membantu dalam memcahkannya.
A.       Rumusan Masalah 
1.    Apa pengertian Takhrijul-Hadist itu?
2.    Apa saja yang menjadi penyebab perlunya kegiatan Takhrijul-Hadist?
3.    Apa saja kitab-kitab yang diperlukan dalam melakukan Takhrij-Hadist?
4.    Bagaimana cara melaksanakan Takhrijul-Hadist?
B.      Tujuan Penulisan
1.             Untuk mengetahui dan memahami pengertian hadist baik secara bahasa maupun istilah.
2.             Untuk mengetahui dan membuktikan sebab-sebab perlunya kegiatan Takhrijul-Hadist.
3.             Untuk mengetahui dan memahami macam-macam metode Takhrijul-Hadist.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Takhrij Hadist
            Takhrij menurut bahasa ialah mengeluarkan sesuatu dari tempatnya.[1] Adapun menurut Dr. Mahmud at-Thahhan mendifinisikan bahwa takhrij menurut pengertian bahasa takhrij menurut pengertian bahasa berarti berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu.[2] Kata takhrij sering diidentikkan dengan beberapa macam pengertian, yaitu istimbat (cara untuk memperoleh satu dari liputan), tadrib (pengajaran), taujih (penjelasan), ibraz dan izhar (pengungkapan dan penjelasan) dan lain-lain.[3]            
            Para muhaddisin mempergunakan kata takhrij untuk maksud yang sama dengan ibraz dan izhar. Maksudnya adalah mengungkapkan hadist kepada orang lain dengan menyebutkan para perawi yang menjadi sanadnya dalam satu kitab. Al-Sakhawy mengartikannya dengan mengungkapkan hadist dari bagian isi satu kitab, atau ucapan guru dan yang sebangsanya kemudian mengungkapkan kembali sebagaimana adanya. At-Thahhan menggarisbawahi kata-kata al-Suyuthi bahwa takhrij artinya rujukan hadist dari sumber aslinya dengan mengungkapkan riwayat penyusunan.[4]
            Dari ketiga pengertian secara lughawi di atas, maka menurut at-Thahhan yang ketiga merupakan pengertian yang paling popular di kalangan muhaddisin, meskipun ketiga alternatif tersebut satu sama lain mengandung kesamaan arti.
            Adapun takhrij dalam pengertian istilah berarti menunjukkan atau menegemukakan letak asal hadist pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang di dalamnya dikemukakan hadist itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing; kemudian, untuk kepentingan, dijelaskan kualitas hadist yang bersangkutan. Berangkat dari pengertian itu, maka yang dimaksud takhrij hadist menurut M Syuhudi Ismail adalah penelusuran atau pencarian hadist pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadist yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadist yang bersangkutan.[5]
            Berdasarkan pengertian di atas, maka ada tiga hal yang menjadi objek kajian, yaitu dimana suatu hadist diperoleh; sumber-sumber hadist manakah yang dianggap representif; bagaimana nilai kesahihan suatu hadist.
            Dari ketiga objek kajian tersebut, at-Thahhan menjelaskan contoh dari masing-masing sasaran sebagai berikut:
  1. Perkataan yang dipakai untuk menyebut sejumlah kitab yang didapati hadist di dalamnya, misalnya hadist dimaksud dikemukakan oleh Bukhari dalam sahihnya, atau al-Thabrani dalam Mu’jamnya atau al-Thabari dalam tafsirnya dan ungkapan-ungkapan lain yang sejenis
  2. Sumber-sumber yang dipandang representif sebagai rujukan hadist adalah:
a.       Kitab-kitab hadist yang dihimpun penyusunannya setelah menerima langsung dari guru-guru berikut sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi, seperti al-Kutub al-Sittah, Muwatta’ Malik, Musnad Ahmad, Mustadrak al-Hakim, Musonnaf Abdul Raziq dan lai sebagainya.
b.      Kitab-kitab hadist penting kitab-kitab tersebut pada alinea pertama seperti kitab al-Jami’ Baina al-Sohihain karangan al-Humaidi atau Tuhfah al-Asyfar bi Ma’rifah al-Athraf  karangan al-Mizzy atau kitab Tahzib Sunan Abi Daud, karangan al-Munziri yang merupakan ikhtisar dari Sunan Abi Daud, walaupun tanpa menybutkan sanadnya.
c.       Kitab-kitab yang berhubungan dengan disiplin ilmu-ilmu lain seperti tafsir, fiqih dan sejarah, yang diperkuat oleh hadist-hadist. Dengan syarat, penyusun meriwayatkannya dengan mengambilnya dari kitab-kitab lain sebelumnya, misalnya kitab Tafsir al-Thabari dan sejarahnya dan kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i.     
Sumber-sumber seperti tersebut pada poin 2 a, b, dan c, menurut at-Thahhan adalah sumber hadist yang primer, karena para penyusunnya dalam meriwayatkan hadist secara langsung dari gurunya dan sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad saw. Berdasarkan kriteria tersebut, maka kitab-kitab yang hanya memuat sebagian hadist dan periwatannya tidak berdasarkan talqiah (temuwicara), tidak layak disebut sumber primer, namun, ia dapat dijadikan sebagai petunjuk yang dapat membantu mencari suatu sumber aslinya.
  1.  Mengenai kualitas sahih atau tidaknya suatu hadist, secara otomatis akan diketahui, manakala validitas referensi (kebenaran rujukan) dan kualitas para perawinya secara jelas telah diketahui. Karena itu, at-Thahhan menyatakan dalam ta’rifnya dengan kata-kata “inda al-Hajah”. Bilakah diperlukan penjelasan mengenai martabat suatu hadist, tidak diperoleh satu pernyataan yang tegas dari at-Thahhan. Nampaknya, ia cendrung mengembalikan permasalahanya pada teori yang dijadikan standar dalam menentukan penilaian suatu hadist. Bagi orang yang mempunyai kemampuan tentang itu tentu tidak perlu dijelaskan, tetapi bagi kalangan yang masih setengah-setengah atau awam sama sekali tentang ilmu hadist, termasuk pengetahuan tentang Rijal al-Hadist kiranya perlu dibantu. Mengenai pembahasan ini lebih mendalam dapat dilihat pada kajian ‘Ulumul al-Hadist.[6]    
B.       Tujuan dan Manfaat Takhrijul Hadist
            Takhrij bertujuan menunjukkan sumber hadist-hadist dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadist-hadist tersebut. Sedangkan manfaatnya sangat banyak, diantaranya adalah:
  1. Seseorang dapat mengumpulkan berbagai sanad dari sebuah hadist.[7]
  2. Seseorang dapat mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matan hadist.[8]
  3. Memberikan informasi bahwa suatu hadist termasuk hadist sahih, hasan, ataupun dhaif, setelaha diadakan penelitian dari segi matan maupun sanadnya.[9]
  4. Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadist adalah hadist maqbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadist adalah mardud (tertolak).[10]
  5. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadist adalah benar-benar berasal dari Rasulullah SAW. yang harus kita ikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadist tersebut, baik dari segi sanadnya maupun matannya.[11]  
C.      Faktor Perlunya Kegiatan Takhrij Hadist
       Kegiatan takhrij hadist perlu kerena berbagai faktor, sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadist; suatu hadist akan sangat sulit ditentukan status dan kualitasnya, bila tidak diketahui terlebih dahulu asal usulnya. Tanpa diketahui asal-usulnya, maka sanad dan matan hadist yang bersangkutan sulit diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya.
Tanpa diketahui susunan sanad dan matannya secara benar, maka hadist yang bersangkutan akan sulit diteliti secara cermat. Dengan demikian, untuk mengetahui asal-usul hadist, kegiatan takhrij perlu dilakukan.
2.      Untuk mengetahui seluruh riwayat hadist; hadist mungkin memiliki lebih dari satu sanad. Mungkin salah satu sanad hadist itu berkualitas dha’if, sedang yang lainnya berkualitas sahih. Untuk dapat menentukan sanad yang berkualitas dhai’if dan yang berkualitas sahih, maka terlebih dahulu harus diketahui seluruh riwayat hadist yang bersangkutan. Dalam hubungannya untuk mengetahui seluruh riwayat hadist, kegiatan takhrij perlu dilakukan.
3.      Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan muttabi’ pada sanad; ketika hadist diteliti salah satu sanadnya, mungkin ada periwayat lain yang sanadnya mendukung pada sanad yang sedang diteliti. Dukungan itu bila terletak pada bagian periwayat tingkat pertama yakni tingkat riwayat Nabi Muhammad saw, disebut sebagai syahid, sedang bila terdapat di bagian bukan periwayat tingkat sahabat disebut sebagai mutabi’. Untuk mengetahui apakah suatu sanad memiliki syahid atau mutabi’, maka seluruh sanad hadist itu harus dikemukakan. Itu berarti kegiatan takhrij hadist perlu dilakukan.[12]
D.      Kitab-kitab Yang Diperlukan
Ada beberapa kitab yang diperlukan untuk melakukan takhrij hadist. Adapun kitab-kitab tersebut antara lain:
  1. Hidayatul bari ila tartibil ahadistil Bukhari
هِدَا يَةُ الْبَارِى اِلَى تَرْتِيْبِ اَحَادِيْثِ الْبُخَارِى
                                    Penyusun kitab ini adalah Abdur Rahman Ambar Al-Misri at-Tahtawi. Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadist-hadist yang termuat dalam Sahih Al-Bukhari. Lafal-lafal hadis disusun menurut aturan urutan huruf abjad Arab. Namun hadis-hadis yang dikemukakan secara berulang dalam Sahih Bukhari tidak dimuat secara berulang dalam kamus di atas. Dengan demikian perbedaan lafal dalam matan hadis riwayat Al-Bukhari tidak dapat diketahui lewat kamus tersebut.
  1. Mu’jam Al-Fazi wala siyyama al-garibu minha atau fihris litartibi ahadisi sahihi Muslim
مُعْجَمُ اْلاَلْفَاظِ وَلاَسِيَّمَا الْغَرِيْبُ مِنْهَا . اَوْ. فِهْرِسٌ لِتَرْتِيْبِ اَحَادِيْثِ صَحِيْحِ مُسْلِمٍ .
                                    Kitab tersebut merupakan salah satu juz, yakni juz ke-V dari kitab Sahih Muslim yang disunting oleh Muhammad Abdul Baqi. Juz V ini merupakan kamus terhadap juz ke-I - IV yang berisi:
a.         Daftar urutan judul kitab serta nomor hadist dan juz yang memuatnya.
b.         Daftar nama para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadist yang termuat dalam Sahih Muslim.
c.         Daftar awal matan hadist dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta diterangkan nomor-nomor hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, bila kebetulan hadist tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhari.
  1. Mifathus Sahihain
مِفْتَاحُ الـصَّحِيْحَينِ
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustafa Al-Tauqih. Kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadist-hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan diriwayatkan oleh Muslim. Akan tetapi hadist-hadist yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadist-hadist yang berupa sabda (qauliyah) saja. Hadist-hadist tersebut disusun menurut abjad dari awal lafal matan hadist. 
  1. Al-Bugyatul fi tartibi ahadistil al-Hilyah
اَلْبُغْيَةُ فِى تَرْتِيْبِ اَحَادِيْثِ الْحِلْيَةِ
Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq Al-Qammari. Kitab hadist tersebut memuat dan menerangkan hadist-hadist yang tercantum dalam kitab yang disusun Abu Nuaim Al-Asabuni (w. 430 H) yang berjudul; Hilyatul auliyai wabaqatul asfiyai.
            Sejenis dengan kitab tersebut di atas adalah kitab Miftahut tartibil ahadisi tarikhil khatib
مِفْتاحُ التَّرْتِيْبِ لاَِحَادِيْثِ تَارِيْخِ  الْخَطِيْبِ
Yang disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq Al-Qammari yang memuat dan menerangkan hadist-hadist yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin Subit bin Ahmad Al-Bagdadi yang dikenal dengan Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H). Susunan kitabnya diberi judul Tarikhu Baghdad تاريخ بغداد yang terdiri atas 4 jilid.
  1. Al-Jamius Sagir
اَلْجَامعُ الصَّغِيْرُ
Kitab ini disusun oleh jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi (w. 91 H). kitab kamus hadist tersebut memuat hadist-hadist yang terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadist yang disusun oleh As-suyuti juga, yakni kitab Jam’ul Jawami’ جمع الجوامع.
Hadist yang dimuat dalam kitab Jamius Sagir disusun berdasarkan urutan abjad dari awal lafal matan hadist. Sebagian dari hadist-hadist itu ada yang ditulis secara lengkap dan ada pula yang ditulis sebagian -sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang cukup.
Kitab hadist tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadist yang bersangkutan dan nama-nama sahabat Mukharijnya (periwayat hadist yang menghimpun hadist dalam kitabnya). Selain itu, hamper setiap hadist yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penilaian yang dilakukan atau disetujui oleh As-suyuti.  
  1. Al-Mujam al-mufaras li alfazil hadist nabawi
اَلْمُعْجَمُ الْمُفَرَّسُ لاَِلْفَاظِ الْحَدِيْثِ النَّبَوِى
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan oreantalis. Diantara anggota tim yang paling aktif dalam kegiatan proses penyusunan ialah Dr. Arnold Jhon Wensinck (w. 1939 m), seorang professor bahasa-bahasa Semit, termasuk bahasa arab di Universitas Leiden, negeri Belanda.
Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadist berdasarkan petunjuk lafal matan hadist. Berbagai lafal yang disajikan tidak dibatasi hanya lafal-lafal yang berada di tengah dan bagian-bagian lain dari matan hadist. Dengan demikian, kitab Mujam mampu memberikan informasi kepada pencari matan dan sanad hadist, asal saja sebagian dari lafal matan yang dicarinya itu telah diketahuinya.
Kitab Muja mini terdiri dari tujuh Juz dan dapat dipergunakan untuk mncari hadist-hadist yang terdapat dalam Sembilan kitab hadist, yakni: Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Turmuzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Sunan Daromi, Muwatta Malik, dan Musnad Ahmad.

E.       Cara Melaksanakan Takhrijul Hadist
Secara garis besar menakhrij hadist (takhrijul hadist) dapat dibagi menjadi dua cara dengan menggunakan kitab-kitab sebagaimana telah disebutkan diatas.
Adapun dua macam cara takhrijul hadist yaitu :
  1. Manakhrij hadist telah diketahui awal matannya, maka hadist tersebut dapat dicari atau ditelusuri dalam kitab-kitab kamus hadist dengan dicarikan huruf awal yang sesuai diurutkan dengan abjad.
Contohnya hadist Nabi yang berbunyi :
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِاالصُرْعَةِ
Untuk mengetahui lafal lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakaukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan matan yang dimaksud. Ternyata halaman yang ditunjuk memuat penggalan lafal tersebut adalah halaman 2014. Berarti, lafal yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV. Setelah diperiksa, maka diketahuilah bahwa bunyi lengkap matan hadist yang dicari adalah:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِاالصُّرْعَةِ اِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ .
Artinya :
“ (Hadist) riwayat Abu Hurairah bahwa Rasullulah bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam brkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah”. 
            Apabila hadist tersebut dikutip dalam karya tulis ilmiah, maka sesudah lafal matan dan nama sahabat periwayat hadist yang bersangkutan ditulis, nama Imam Muslim disertakan. Biasanya kalimat yang dipakai adalah:  رَوَاهُ مُسْلِمٌ    
            Nama sahabat periwayat hadist dalam contoh diatas adalah Abu Hurairah, dapat pula ditulis sesudah nama Muslim dan tidak ditulis di awal matan. Kalimat yang dipakai berbunyi : رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ    
Dalam kitab Sahih Muslim dicantumkan di catatan kaki sebagaimana lazimnya.
Kamus yang disusun
  1. Menakhrij hadist dengan berdasarkan topic permasalahan (takhrijul hadist bil Mundu’i)
Upaya mencari hadist terkadang tidak didasarkan pada lafal matan (meteri) hadist, tetapi didasarkan pada topic masalah. Pencarian matan hadist berdasarkan topik masalah sangat menolong pengkaji hadist yang ingin memahami petunjuk-petunjuk hadist dalam segala konteksnya.
Pencarian matan hadist berdasarkan topic masalah tertentu itu dapat ditempuh dengan cara membaca berbagai kitab himpunan kutipan hadist, namun berbagai kitab biasanya tidak menunjukkan teks hadist menurut para periwayatanya masing-masing. Padahal untuk memahami topic tertentu tentang petunjuk hadist, diperlukan pengkajian terhadap teks-teks hadist menurut periwayatannya masing-masing. Dengan bantuan kamus hadist tertentu, pengkajian teks dan konteks hadist menurut riwayat dari berbagai periwayat akan mudah dilakukan. Salah satu kamus hadist itu ialah :
مِفْتَاحُ كُنُوْزِ السُّنَّةِ
            Bahasa asli dari kitab tersebut adalah bahasa Inggris dengan judul a Hanbook of Early Muhammadan. Kamus hadist yang berbahsa Inggris tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagaimana tercantum diatas oleh Muhammad Fuad Abdul-Baqi. Muhammad Fuad tidak hanya menerjemahkan saja, tetapi juga mengoreksi beberapa data yang salah.
            Naskah yang berbahasa Inggris diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1927 dan terjemahannya pada tahun 1934.
Dalam kamus hadist tersebut dikemukakan berbagai topic, baik yang berkenaan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan petunjuk Nabi maupun yang berkenaan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan nama. Untuk setiap topic biasanya disertakan beberapa subtopic; dan untuk setiap subtopic dikemukakan data hadistdan kitab yang menjelaskannya. Berarti, lafal yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV. Setelah diperiksa, maka diketahuilah bahwa bunyi lengkap dari matan hadist yang dicari adalah:    
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِاالصُّرْعَةِ اِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ .
Artinya :
“ (Hadist) riwayat Abu Hurairah bahwa Rasullulah bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam brkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah”. 
Jika hadist tersebut dikutip dalam karya tulis ilmiah, maka sesudah ditulis lafal matan dan nama sahabat periwayat hadist yang bersangkutan, disertakan nama Imam Muslim. Biasanya kalimat yang dipakai adalah: رَوَاهُ مُسْلِمٌ    
Nama sahabat periwayat hadist dalam contoh diatas adalah Abu Hurairah, dapat pula ditulis sesudah nama Muslim dan tidak ditulis di awal matan.  Dalam hal ini, kalimat yang dipakai berbunyi : رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ    
Dalam kamus Sahih Muslim dicantumkan di catatan kaki sebagimana lazimnya. Kamus yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul-Baqi tersebut tidak mengemukakan lafal hadist Nabi yang dalam bentuk selain sabda. Bahkan hadist yang berupa sabda pun tidak seluruhnya dimuat. Salah satu contohnya ialah lafal hadist yang berbunyi:
يَسِّرُوْا وَلاَتُعَسِّرُوْا.....(الحديث)
Lafal hadist tersebut tidak termuat dalam kamus, padahal Sahih Muslim memuatnya di juz III halaman 1359, nomor urut hadist : 1734. Lafal yang dimuat dalam kamus adalah hadist yang semakna yang terdapat dalam juz dan halaman yang sama, dengan nomor urut hadist 1733. Lafal itu berbunyi:
يَسِّرُوْا وَلاَتُعَسِّرُوْا.....(الحديث)
Penggalan hadist nomor 1631 merupakan contoh juga dari matan hadist yang tidak termuat dalam kamus itu.
            Kitab-kitab yang menjadi rujukan kamus tidak hanya kitab-kitab hadist saja, tetapi juga kitab-kitab sejarah (tarikh) Nabi Muhammad. Jumlah kitab rujukan itu ada empat belas kitab, yakni:
ٰ١. صحيح البخاري                  ٢. صحيح مسلم             ٣. سنن ابى داود
٤. سنن الترمذى                     ٥. سنن النسائ               ٦. سنن ابن ماجه
٧. سنن الدارمي                      ٨. موطّأ مالك                ٩. مسند احمد بن حنبل
١٠. مسند ابى داود الطَّيالسي        ١١. مسند زيد بن على      ١٢. سيرَة بن هشام
١٣. مَغَاذِى الواقدى                 ١٤. طبقَاتُ ابنِ سعدٍ
             
 BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
§  Takhrij menurut bahasa ialah mengeluarkan sesuatu dari tempatnya. Adapun takhrij dalam pengertian istilah berarti menunjukkan atau menegemukakan letak asal hadist pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang di dalamnya dikemukakan hadist itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing; kemudian, untuk kepentingan, dijelaskan kualitas hadist yang bersangkutan.
§  Takhrij bertujuan menunjukkan sumber hadist-hadist dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadist-hadist tersebut.
§  Kegiatan takhrij hadist perlu kerena berbagai factor diantaranya:
Ø  Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadist
Ø  Untuk mengetahui seluruh riwayat hadist
Ø  Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan muttabi’ pada sanad
§  Ada beberapa kitab yang diperlukan untuk melakukan takhrij hadist. Adapun kitab kitab tersebut antara lain:
Ø  Hidayatul bari ila tartibil ahadistil Bukhari
Ø  Mu’jam Al-Fazi wala siyyama al-garibu minha atau fihris litartibi ahadisi sahihi Muslim
Ø  Mifathus Sahihain
Ø  Al-Bugyatul fi tartibi ahadistil al-Hilyah
Ø  Al-Jamius Sagir
Ø  Al-Mujam al-mufaras li alfazil hadist nabawi
§  Cara Takhrij Hadist ada dua macam yaitu :
Ø  Manakhrij hadist telah diketahui awal matannya
Ø  Menakhrij hadist dengan berdasarkan topic permasalahan (takhrijul hadist bil Maudu’i)


[1]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah Dan Pengarang Ilmu Hadist, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2009, hal 148.
[2] H. M. Gazali Dr., M.A. Ulumul Hadist, COMDES Kalimantan, Banjarmasin, 2002, hal 114.
[3] Ibid, hal 114-115.
[4] Ibid
[5] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadist Nabi, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal 43.  
[6] H. M. Gazali Dr., M.A. Ulumul Hadist, COMDES Kalimantan, Banjarmasin, 2002, hal 117.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] H. Muhammad Ahmad, Drs., M. Mudzakir., Drs, Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2004, hal 132.
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadist Nabi, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal 44-45.  

ABU MANSUR AL-HALLAJ


Suatu gerakan klasik mistisme yang merupakan reaksi atas legalisme dan kelakuan Islam Ortodoks yang kita kenal dengan istilah sufisme merupakan suatu sekte yang berusaha mencapai hubungan yang lebih dengan Tuhan.
Esensinya adalah kesucian yang merupakan pola pikir tasawuf yang terkait dengan kesederhanaan dan pengalaman pribadi para sufi dan dijadikan sebagai konsep pengalaman beragama.
Kita sudah sering mendengar tentang keadaan dan sejarah dua sufi besar terkenal hingga nama dan sejarahnya dimasa kini masih sering dibahas sejarawan, ia adalah Abu Yazid al-Bustami dan Abu Mansur al-Hallaj dua orang sufi yang pada masanya telah menambah goresan keanekaragaman bentuk tasawuf. Bustami dengan ajaran al-Ittihadnya telah dikembangkan oleh Al-Hallaj melalui ajaran al-Hulul. Di Indonesia tasawuf bukanlah benda asing. Pada masa sejarah tertentu ia malah telah mempribumi dan anggun.

2.1         Konsep Ajaran Abu Mansur al-Hallaj.
2.1.1             Sekilas Tentang Abu Mansur al-Hallaj.
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mugist al-Hasan bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi. Ia lahir di Baida, sebuah kota kecil diwilayah Persia pada tahun 244 H (857-858 M).
Ia tumbuh dewasa dikota wasith, dekat Baghdad. Al-Hallaj bukan dari keturunan orang Arab melainkan keturunan dari Persia. Kakeknya bernama Muhammad, adalah seorang majuzi taat. Namun ayahnya yang kemudian berpindah menjadi pemeluk agama Islam.
Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang yang terkenal pada saat itu, yaitu Salil bin Abdullah al-Tusturi di ahwas. Dua tahun kemudian ia pergi ke Basrah dan berguru kepada Amr al-Makki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M, ia memasuki kota Baghdad dan belajar kepada Junaidi al-baghdadi.
Al-Hallaj selalu berpindah-pindah dalam pengembaraannya yang panjang. Sebelum dalam pengembaraannya ia telah manunaikan ibadah haji tiga kali, dan kemudian menetap di Baghdad dan mengajarkan ajaran-ajaran tasawufnya yang berbeda dengan tasawuf sebalum dan sezamannya.
Ungkapan ana al-Haqq adalah ungkapan al-Hallaj yang tidak dapat dimaafkan oleh ulama fiqh karena dianggap murtad. Dan itulah yang menjadi alasan untuk memenjaraknnya.
Setahun kemudian ia meloloskan dari penjara, tetapi empat tahun kemudian ia tertangkap lagi.
Delapan tahun dalam penjara tidak melunturkan pendiriannya akhirnya pada tahun 921 M, ia divonis hukuman mati dengan mula-mula dipukuli, dicambuk dengan cemeti, lalu di salib. Kedua kakinya dan tangannya dipotong dan lehernya dipenggal. Setelah itu tubuhnya dibiarkan tergantung dipintu gerbang kota Baghdad.
Dalam suatu riwayat yang lain disebutkan bahwa, setelah dipenjara selama delapan tahun, al-Hallaj dihukum gantung, ia dicambuk sebanyak seribu kali tanpa mengadu kesakitan lalu dipenggal kepalanya. Namun sebelum dipancung, ia meminta sholat dua rakaat. Setelah itu, kakinya dan tangannya dipotong, lalu badannya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan dibawa kekhurasan untuk dipertontonkan.
2.1.2             Ajaran al-Hulul Abu Mansur al-Hallaj.
Hulul berarti penempatan, penyinaran, dan penurunan. Sedangkan menurut istilah Hulul adalah paham yang menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan QS. Al-Baqarah : 34:
øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyŠKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4n1r& uŽy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ  
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir”.[1]
 Bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud hanyalah Allah, maka al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam ada unsur ketuhanan. Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia, yang terdiri atas roh dan jasad, lahut itu dapat bersatu dengan manusia dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang.
Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian pula manusia melalui maqamat, manusia mampu ketingkat fana’ dimana manusia telah menghilangkan nasutnya dan meningkatlah lahut yang mengontrol dan menjadi inti kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk hululnya Tuhan dalam dirinya. Atau Tuhan menitis kepada yang dipilih-pilih-Nya melalui titik sentral manusia yaitu roh.
Menurut al-Hallaj, apabila jiwa seseorang telah suci dalam menempuh hidup kerohanian, akan naiklah tingkat kehidupannya dari satu maqam ke maqam yang lain. Setelah sampai pada tingkatan yang paling tinggi, maka Tuhan akan menjelma dalam dirinya, sehingga apa yang dilakukannya merupakan perbuatan Tuhan.
Ungkapan ana al-Haqq bukanlah bermakna tektual. Namun pada hakikatnya kata-kata tersebut adalah yang ia ucapkan melalui lidahnya.  

BAB III
PENUTUP
3.1         Kesimpulan.
1.      Abu Mansur al-Hallaj dengan konsep al-Hulul berpendapat bahwa tidaklah mustahil jika seorang menyatu dengan Tuhan, karena pada diri manusia terdapat unsur ketuhanan. Apabila diri manusia dibersihkan dari unsur nasut dan di dominasi dengan unsur lahut, maka Tuhan akan mengambil tempat pada dirinya.
2.      Mengkaji konsep al-Hulul sendiri tidak bisa dilepaskan dari penafsiran-penafsiran al-Hallaj sendiri atas doktrin tersebut. Melihatnya tentu dari kacamata sufi bukan dari kacamata fiqh atau teologi.


[1] Maksud Sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.