Laman

Kamis, 15 Desember 2011

Kehendak dan Keadilan Tuhan


BAB I
PENDUHULUAN
A.   Latar Belakang.
Adanya perbedaan dalam aliran-aliran ilmu kalam mengenai kekuatan akal, fungsi wahyu, dan kebebasan atau kehendak dan perbuatan manusia telah memunculkan pula perbedaan pendapat tentang kehendak mutlak dan keadilan Tuhan.
Pangkal persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sebagai pencipta alam, Tuhan haruslah mengatasi segala yang ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada itu. Ia adalah eksistensi yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas  karena tidak ada eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya. Ia difahami sebagai eksistensi yang esa dan unik. Inilah makna umum yang dianut aliran-aliran kalam dalam memahami tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.  
Faham keadilan Tuhan, dalam pemikiran kalam, bergantung pada pandangan, apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja? Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia ini menyebabkan perbedaan penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Kehendak Mutlak Tuhan.
      Allah adalah Tuhan Yang Esa, Mahakuasa dan Maha Berkehendak. Keyakinan. Keyakinan demikian disepakati oleh semua umat Islam. Namun, aliran-aliran kalam berbeda pandapat tentang kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan itu. Apakah kehendak dan kekuasaan Tuhan itu bersifat mutlak tanpa batas atau ada batas-batas tertentu sehingga Tuhan “tidak berkuasa mutlak”?
1.      Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah, sebagai aliran rasionalis yang menempatkan akal pada posisi yang tertinggi dan meyakini kemampuan akal untuk dapat memecahkan problema teologis, berpendapat, kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya. Kekuasaan-Nya dibatasi oleh beberapa hal yang diciptakan-Nya sendiri. Hal-hal yang membatasi kekuasaan Tuhan tersebut anatara lain adalah;
1.         Kewajiban-kewajiban Tuhan untuk menunaikan janji-janji-Nya seperti janji           memasukkan orang yang saleh ke dalam surga dan orang yang berbuat jahat ke dalam neraka. Tuhan wajib menepati janji ini. Dengan demikian, meskipun Tuhan berkuasa memasukkan orang jahat ke dalam surga, tapi kekuasaannya dibatasi oleh janji-Nya sendiri. Jika Tuhan paksakan juga memasukkan orang jahat ke dalam surga berarti Tuhan tidak adil dan melanggar janji.   
2.         Kebebasan dan kemerdekaan manusia untuk melakukan perbuatannya. Menurut Mu’tazilah, Allah memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia untuk melakukan perbuatan. Kerena itu, manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Manusialah yang memilih dan menentukan, berbuat atau tidak, dan apa yang akan ia perbuat. Karena Allah sudah memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia memilih dan menentukan perbuatannya itu, maka kekuasaan Tuhan terhadap perbuatan manusia itu tidak mutlak lagi.
3.         Hukum alam. Allah menciptakan alam semesta ini denga hukum-hukum tertentu yang bersifat tetap. Hukum-hukum itu biasanya dinamakan hukum alam, seperti matahari terbit di sebelah Timur dan tenggelam di sebelah Barat, benda tajam melukai, api membakar, dan lain-lain. Hukum alam yang pada hakikatnya adalah hukum Allah karena Allah yang menciptakan hukum itu sudah ditentukan oleh Tuhan. Dengan ketentuan tersebut, Tuhan tidak berkuasa mutlak lagi. Kekuasaan-Nya dibatasi oleh hukum-hukum yang diciptakan-Nya sendiri.
Secara lebih jelas, aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam (sunnatullah) yang menurut Al-Qur’an tidak pernah berubah.
Oleh sebab itu, dalam pandangan Mu’tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam jalur-jalur hukum yang tersebar di tengah alam semesta. Itulah sebabnya Mu’tazilah mempergunakan ayat 62 surat Al-Ahzab [33].[1] Kebebasan manusia, yang memang diberikan Tuhan kepadanya, baru bermakna kalau Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya. Dengan demikian, dalam pemahaman Mu’tazilah, Tuhan tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasaan-Nya secara mutlak, tetapi sudah terbatas.
2.      Aliran Asy’ariah
  Pendapat Mu’tazilah diatas bertolak belakang dengan pendapat Asy’ariyah. Menurut Asy’ariyah, yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, mengemukakan bahwa Tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya. Tidak ada satu pun yang membatasi kekuasaan-Nya itu. Karena kekuasaan Tuhan bersifat absolut (penuh), bisa saja Tuhan memasukkan orang jahat atau kafir ke dalam surga atau memasukkan orang mukmin yang saleh ke dalam neraka, jika hal itu memang dikehendaki-Nya. Apabila Tuhan berbuat demikian, menurut pendapat ini, bukan berarti Tuhan tidak adil. Keadilan Tuhan tidaklah berkurang dengan perbuatan-Nya itu sebab semua yang ada adalah ciptaan dan milik-Nya. Ia punya hak untuk berbuat apa saja terhadap ciptaan dan milik-Nya.
Al-Asy’ari sendiri menjelaskan bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun dan tidak dzat lain di atas Tuhan yang dapat yang dapat membuat hukum serta menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Malah lebih jauh dikatakan oleh Asy’ari, kalau memang Tuhan menginginkan, ia dapat saja meletakkan beban yang tak terpikul oleh manusia.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan sandaran oleh aliran Asy’ariyah untuk memperkuat pendapatnya adalah ayat 16 surah Al-Buruj [85],[2] ayat 99 surah Yunus [10],[3] ayat 13 surah As-Sajadah [32],[4] ayat 112 surah Al-An’am [6],[5] dan ayat 253 surah Al-Baqarah [2].[6]
Ayat-ayat tersebut difahami Asy’ari sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan mesti berlaku. Bila kehendak Tuhan tidak berlaku, itu berarti Tuhan lupa, lalai dan lemah untuk melaksanakan kehendak-Nya itu, sedangkan sifat lupa, lalai, apalagi lemah, adalah sifat-sifat yang mustahil bagi Allah. oleh sebab itu, kehendak Tuhan tersebutlah yang berlaku, bukan kehendak yang lain. Manusia berkehendak setelah Tuhan sendiri menghendaki agar manusia berkehendak. Tanpa dikehendaki oleh Tuhan, manusia tidak akan berkehendak apa-apa. Ini berarti kehendak dan kekuasaan Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya dan sepenuh-penuhnya. Tanpa makna itu, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak memiliki apa-apa.
3.      Aliran Maturidiyah
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas terhadap kekuasaan mutlak Tuhan. Karena menganut faham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, kaum Maturiyah Samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah, tetapi kekuatan akal dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil daripada yang diberikan aliran Mu’tazilah. Namun menurut Maturidiyah Samarkand, kehendak mutlak Tuhan, dibatasi oleh keadilan Tuhan.
Adapun menurut Maturidiyah Bukhara, sekalipun aliran ini tidak seekstrem aliran Asy’ariyah, namun mereka memiliki paham yang dekat dengan Asy’ariyah. Golongan ini berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, namun kemutlakannya tidak semutlak paham yang dianut oleh Asy’ariyah.  Jika Asy’ariyah berpendapat, Tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya tanpa keterikatan apa pun, maka golongan Maturidiyah Bukhara, sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang tokoh besarnya yaitu, al-Bazdawi, berpendapat, Tuhan tidak mungkin melanggar janji-janji-Nya seperti memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum kepada orang yang berbuat jahat. Pendapat al-Bazdawi ini menunjukkan bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya sebagaimana pendapat Asy’ariyah sebab masih terkandung adanya kewajiban Tuhan, yaitu kewajiban menepati janji.  
Kalau Maturidiyah Bukhara lebih dekat kepada pemikiran Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand lebih dekat kepada pemikiran Mu’tazilah sekalipun tidak seekstrem Mu’tazilah. Bagi golongan ini, Tuhan memang memiliki kekuasaan mutlak, namun kekuasaan-Nya dibatasi oleh batasan yang diciptakan-Nya sendiri. Batasan-batasan tersebut, menurut Prof. Dr. Harun Nasution adalah:
a)         Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang, menurut pendapat mereka, ada pada manusia.
b)        Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk berbuat baik atau berbuat buruk/jahat.
c)         Keadaan hukuman-hukuman Tuhan, sebagai kata al-Bazdawi, tak boleh tidak mesti terjadi.
B.   Keadilan Tuhan.
Masalah keadilan Tuhan erat sekali kaitannya dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dan janji-janji Tuhan dalam Al-Qur’an yang memberikan kenikmatan bagi orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat dosa dan maksiat. Di samping itu, erat pula kaitannya dengan perbuatan manusia.
Karena pandangan aliran-aliran teologi terhadap kekuatan mutlak Tuhan, janji Tuhan, dan perbuatan manusia berbeda, mereka berbeda pula memandang keadilan tersebut.
Ø  Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa manusia bebas merdeka melakukan perbuatannya sendiri dan kekuasaan Tuhan terbatas, memandang keadilan Tuhan dari sudut kepentingan manusia. Karena itu, bagi mereka, Tuhan adil  jika Tuhan memberikan hak yang sebenarnya kepada manusia. Kalau manusia yang berbuat baik harus dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya jika manusia yang berbuat jahat dan melanggar hukum-hukum Tuhan dimasukkan ke dalam neraka. Kalau Tuhan berbuat sebaliknya, memberi kenikmatan kepada orang yang jahat dan menghukum orang yang baik, berarti Tuhan berbuat zhalim. Dan tuhan maha suci dari perbuatan zhalim.
Selanjutnya, aliran Mu’tazilah mengatakan, sebagaimana yang dijelaskan oleh tokohnya Abd Al-Jabbar, bahwa keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik. Jalan pikiran ini tidak menghendaki sifat zhalim dalm menghukum, memberi beban yang tidak patuh bagi Allah. dengan kata lain, Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah, mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri bagi diri-Nya.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat aliran Mu’tazilah ini untuk memperkuat pendapatnya adalah ayat 47 surah Al-Anbiya [21,][7] ayat 54 surah Yasin [36],[8] ayat 46 surah Fushilat [41],[9]

ayat 40 surah An-Nisa [4],[10] dan 49 surah kahfi [18].[11]
Dari uraian tersebut, dapat diambil pengertian bahwa semua perbuatan yang timbul dari Tuhan, dalam hubungannya dengan hamba-Nya, ditentukan oleh kebijaksanaan atas dasar kemaslahatan. Perbuatan Tuhan tidaklah bertujuan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan makhluk dan perbuatan-Nya itu selalu baik. Kebaikan itu bermakna bila Tuhan tidak berbuat zhalim dengan membebani manusia yang tidak terpikul dan menyiksa pelaku perbuatan buruk dengan paksaan tanpa memberi kebebasan terlebih dahulu.
Apabila kita memperhatikan uraian diatas, jelas sekali bahwa keadilan Tuhan menurut kensep Mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikirannya tentang kehendak mutlak Tuhan. Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan memberi kebebasan kepada manusia. Adapun kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan itu sendiri.
Ø  Aliran Asy’ariyah
 Sebagaimana dalam masalah yang lain, dalam masalah keadilan Tuhan ini, Asy’ariyah mempunyai pendapat yang bertolak belakang dengan Mu’tazilah. Kaum Asy’ariyah, karena mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Asy’ariyah memandang keadilan Tuhan dari sudut kehendak dan kekuasaan Tuhan yang bersifat absolut, Tuhan adalah pencipta dan pemilik segala-galanya, karena itu, apa pun yang dilakukan Tuhan adalah adil, sebab ia memperlakukan ciptaan dan milik-Nya sendiri.
Bagi Asy’ariayah, keadilan adalah “menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya”, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai kehendak-Nya. Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hamba-Nya atau memberi siksa dengan sekehendak hati-Nya, dan itu semua adalah adil bagi Tuhan. Justru tidaklah adil jika Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya karena dia adalah penguasa mutlak. Sekiranya Tuhan menghendaki semua makhluk-Nya masuk ke dalam surga atau sebaliknya Tuhan menghendaki semua makhluk-Nya masuk ke dalam neraka, itu adalah adil bagi Tuhan,  karena Tuhan berbuat dan membuat hukum menurut kehendak-Nya.
Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran Asy’ariyah memberi makna tentang keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Dengan demikian, ketidakadilan difahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil, bila yang difahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak-Nya.        
Ø  Aliran Maturidiyah
Dalam masalah keadilan tuhan ini, Maturidiyah Samarkand memiliki pandangan yang sama dengan Mu’tazilah dan Maturidiyah Bukhara sejalan dengan pemikiran Asy’ariyah.
 BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan.
Dalam persoalan tentang kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan, aliran-aliran kalam berbeda-beda pendapatnya  tentang kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan. Apakah kehendak dan kekuasaan Tuhan itu bersifat mutlak tanpa batas atau ada batas-batas tertentu sehingga Tuhan “tidak berkuasa mutlak”?  
 Mu’tazilah, sebagai aliran rasionalis yang menempatkan akal pada posisi yang tertinggi dan meyakini kemampuan akal untuk dapat memecahkan problema teologis, berpendapat, kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya. Kekuasaan-Nya dibatasi oleh beberapa hal yang diciptakan-Nya sendiri.
Asy’ariyah, yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, mengemukakan bahwa Tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya. Tidak ada satu pun yang membatasi kekuasaan-Nya itu.
Menurut Maturidiyah Samarkand, kehendak mutlak Tuhan, dibatasi oleh keadilan Tuhan.
Maturidiyah Bukhara,berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak,namun Tuhan tidak mungkin melanggar janji-janji-Nya seperti memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum kepada orang yang berbuat jahat.
Karena pandangan aliran-aliran teologi terhadap kekuatan mutlak Tuhan, janji Tuhan, dan perbuatan manusia berbeda, mereka berbeda pula memandang masalah keadilan Tuhan.
Kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa manusia bebas merdeka melakukan perbuatannya sendiri dan kekuasaan Tuhan terbatas, memandang keadilan Tuhan dari sudut kepentingan manusia. Karena itu, bagi mereka, Tuhan adil  jika Tuhan memberikan hak yang sebenarnya kepada manusia.
Kaum Asy’ariyah, karena mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Asy’ariyah memandang keadilan Tuhan dari sudut kehendak dan kekuasaan Tuhan yang bersifat absolut, Tuhan adalah pencipta dan pemilik segala-galanya, karena itu, apa pun yang dilakukan Tuhan adalah adil, sebab ia memperlakukan ciptaan dan milik-Nya sendiri.
Dalam masalah keadilan tuhan ini, Maturidiyah Samarkand memiliki pandangan yang sama dengan Mu’tazilah dan Maturidiyah Bukhara sejalan dengan pemikiran Asy’ariyah.


sp¨Zß «!$# Îû šúïÏ%©!$# (#öqn=yz `ÏB ã@ö6s% ( `s9ur yÅgrB Ïp¨ZÝ¡Ï9 «!$# WxƒÏö7s? ÇÏËÈ [1]
sebagai sunnah Allah yang Berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.
×A$¨èsù $yJÏj9 ߃̍ムÇÊÏÈ [2] 
Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.
öqs9ur uä!$x© y7/u z`tBUy `tB Îû ÇÚöF{$# öNßg=à2 $·èŠÏHsd 4 |MRr'sùr& çn̍õ3è? }¨$¨Z9$# 4Ó®Lym (#qçRqä3tƒ šúüÏZÏB÷sãB [3] ÇÒÒÈ  
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?
öqs9ur $oYø¤Ï© $oY÷s?Uy ¨@ä. C§øÿtR $yg1yèd ô`Å3»s9ur ¨,ym ãAöqs)ø9$# ÓÍh_ÏB ¨bV|øBV{ zO¨Yygy_ šÆÏB Ïp¨YÉfø9$# Ĩ$¨Z9$#ur šúüÏèuHødr& ÇÊÌÈ [4] 
Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap- tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah Perkataan dari padaKu: "Sesungguhnya akan aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama."
y7Ï9ºxx.ur $oYù=yèy_ Èe@ä3Ï9 @cÓÉ<tR #xrßtã tûüÏÜ»ux© ħRM}$# Çd`Éfø9$#ur ÓÇrqムöNßgàÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ t$ã÷zã ÉAöqs)ø9$# #Yráäî 4 öqs9ur uä!$x© y7/u $tB çnqè=yèsù ( öNèdöxsù $tBur šcrçŽtIøÿtƒ ÇÊÊËÈ [5] 
Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (Maksudnya syaitan-syaitan jenis jin dan manusia berupaya menipu manusia agar tidak beriman kepada Nabi)
öqs9ur uä!$x© ª!$# $tB Ÿ@tGtGø%$# tûïÏ%©!$# .`ÏB NÏdÏ÷èt/ .`ÏiB Ï÷èt/ $tB ÞOßgø?uä!%y` àM»oYÉit6ø9$# Ç`Å3»s9ur (#qàÿn=tG÷z$# Nåk÷]ÏJsù ô`¨B z`tB#uä Nåk÷]ÏBur `¨B txÿx. 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# $tB (#qè=tGtGø%$# £`Å3»s9ur ©!$# ã@yèøÿtƒ $tB ߃̍ムÇËÎÌÈ [6] 
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah Rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, Maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.
ßìŸÒtRur tûïκuqyJø9$# xÝó¡É)ø9$# ÏQöquÏ9 ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# Ÿxsù ãNn=ôàè? Ó§øÿtR $\«øx© ( bÎ)ur šc%Ÿ2 tA$s)÷WÏB 7p¬6ym ô`ÏiB @AyŠöyz $oY÷s?r& $pkÍ5 3 4s"x.ur $oYÎ/ šúüÎ7Å¡»ym ÇÍÐÈ [7]
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka Tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.
tPöquø9$$sù Ÿw ãNn=ôàè? Ó§øÿtR $\«øx© Ÿwur šc÷rtøgéB žwÎ) $tB óOçFZà2 tbqè=yJ÷ès? ÇÎÍÈ [8] 
Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.
ô`¨B Ÿ@ÏHxå $[sÎ=»|¹ ¾ÏmÅ¡øÿuZÎ=sù ( ô`tBur uä!$yr& $ygøŠn=yèsù 3 $tBur y7/u 5O»¯=sàÎ/ ÏÎ7yèù=Ïj9 ÇÍÏÈ [9] 
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya.
¨bÎ) ©!$# Ÿw ãNÎ=ôàtƒ tA$s)÷WÏB ;o§sŒ ( bÎ)ur à7s? ZpuZ|¡ym $ygøÿÏ軟ÒムÅV÷sãƒur `ÏB çm÷Rà$©! #·ô_r& $VJŠÏàtã ÇÍÉÈ [10] 
Sesungguhnya Allah tidak Menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. Maksudnya: Allah tidak akan mengurangi pahala orang-orang yang mengerjakan kebajikan walaupun sebesar zarrah, bahkan kalau Dia berbuat baik pahalanya akan dilipat gandakan oleh Allah.
yìÅÊãrur Ü=»tGÅ3ø9$# uŽtIsù tûüÏB̍ôfßJø9$# tûüÉ)Ïÿô±ãB $£JÏB ÏmŠÏù tbqä9qà)tƒur $oYtGn=÷ƒuq»tƒ ÉA$tB #x»yd É=»tGÅ6ø9$# Ÿw âÏŠ$tóムZouŽÉó|¹ Ÿwur ¸ouŽÎ7x. HwÎ) $yg8|Áômr& 4 (#rßy`urur $tB (#qè=ÏJtã #ZŽÅÑ%tn 3 Ÿwur ÞOÎ=ôàtƒ y7/u #Ytnr& ÇÍÒÈ [11] 
Dan diletakkanlah Kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka Kami, kitab Apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). dan Tuhanmu tidak Menganiaya seorang juapun".

Tidak ada komentar: